Jumat, 22 April 2011

HUBUNGAN GURU AGAMA DENGAN GURU AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

    Dalam konteks pendidikan di Indonesia dikenal istilah guru agama dan guru bidang studi umum. Kedua istilah ini muncul seiring dengan pemisahan sekolah yang berorientasi agama menjadi di bawah Departemen Agama, sementara sekolah yang berorientasi pelajaran umum berada di bawah Departemen Pendidikan.

    Munculnya kedua istilah ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kepribadian dan aktivitas guru dalam proses pembelajaran, mengingat pembedaan istilah ini bisa mendorong adanya individuasi dalam menyampaikan materi pelajaran tanpa memperdulikan pelajaran yang lain. Guru agama akan cenderung untuk menyampaikan materi yang sarat dengan nilai-nilai agama tanpa memperdulikan bidang studi umum, sementara guru bidang studi umum akan antusias menyampaikan bidang studi umum tanpa menyadari bahwa ilmu tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari ilmu yang bersumber dari Tuhan.

    Melihat pengaruh tersebut maka hendaknya terbangun suatu hubungan yang baik antara guru agama dengan guru bidang studi umum yang dapat memperkecil perbedaan di antara keduanya, sehingga keduanya bisa saling mengisi dalam mencapai tujuan pendidikan. Atas dasar itulah makalah ini diberi judul "Hubungan antara Guru Agama dengan Guru Bidang Studi Umum".


     

  2. Tujuan Penulisan

    Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang :

    1. Apa pengertian guru ?
    2. Apa tugas dan tanggung jawab guru ?
    3. Bagaimana sejarah munculnya dikotomi ilmu ?
    4. Bagaimana hubungan antara guru agama dengan guru bidang studi umum ?


 

  1. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah dalam penguraian bahasan tentang hubungan guru agama dengan guru bidang studi umum, maka disusun sistematika sebagai berikut :


     

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang
    2. Tujuan Penulisan
    3. Sistematika Penulisan

    BAB II PEMBAHASAN

    1. Pengertian Guru
    2. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
    3. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu
    4. Hubungan antara Guru Agama dan Guru Bidang Studi Umum

    BAB III KESIMPULAN

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Guru

    Secara etimologis, guru adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberikan kesan bahwa guru adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa Inggris, kata guru dikenal dengan istilah teacher, juga disebut tutor yang berarti guru pribadi atau guru yang mengajar di rumah (Tolkhah, 2008 : 3).

    Dalam bahasa Arab, kata guru dikenal dengan istilah mu'allim, murabbi, mudarris, muaddib dan ustadz. Menurut Bunyamin (2007) yang dikutip oleh Tolkhah (2008 : 3), beberapa istilah itu, memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimatnya, walaupun memang dalam konteks tertentu mempunyai kesamaan makna.

    Kata murabbi misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah kepada pemeliharaan, baik bersifat jasmani maupun rohani, pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orangtua membesarkan anaknya, mereka tentunya berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian akhlak yang terpuji. Sedangkan kata mu'allim dan mudarris, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas transferring knowledge dari seorang yang tahu kepada orang yang tidak tahu. Adapun istilah muaddib lebih luas daripada mu'allim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam, yakni memberikan pengajaran budi pekerti (akhlak). Kata ustadz diberikan kepada mereka yang memiliki kepandaian atau keahlian dalam bidang tertentu dan mampu mengajarkannya kepada orang lain. Kata ini juga digunakan sebagai gelar akademik (profesor). (Tolkhah, 2008 : 3-4).

    Adapun pengertian guru secara terminologi, sebagaimana ditulis Hadari Nawawi (1989), adalah orang yang kerjanya mengajar dan memberikan pelajaran di sekolah atau kelas. Secara lebih khusus guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru menurut pengertian ini bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi anggota masyarakat juga harus ikut aktif dan berjiwa bebas serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.

    Menurut Ahmad Tafsir (1984) yang dikutip oleh Tolkhah (2008 : 5), guru adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Menurut definisi ini guru memiliki cakupan makna yang lebih luas; orang tua, guru sekolah, guru ngaji, tokoh masyarakat atau yang lainnya yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik.

    Sementara dalam perspektif Islam, guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi kognitif, potensi afektif maupun potensi psikomotorik. Terkait tanggung jawab ini Allah SWT. berfirman dalam Al Quran surat Ali Imran [3] : 164) :

    164. Sungguh Allah Telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran [3] : 164).

    Ayat di atas secara tegas menyatakan bahwa tugas yang diemban Rasul Muhammad selain sebagai Nabi, juga sebagai mu'allim (guru). Tugas utama guru menurut ayat di atas adalah :

    1. Pembacaan ayat-ayat Tuhan, yakni secara sadar memberikan pengetahuan tentang tanda-tanda kekuasaan Tuhan melalui ucapan dan lisan.
    2. Penyucian (tazkiyah), yakni pengembangan dan pembersihan jiwa dari kejahatan dan kenistaan serta menjaga diri agar tetap berada dalam kondisi fitrah (suci).
    3. Pengajaran (ta'lim), yakni pengalihan berbagai pengetahuan dan akidah kepada akal dan hati kaum muslimin agar mereka dapat merealisasikannya dalam tingkah laku kehidupan.

    Kata ya'lu (memabaca) berkaitan erat dengan lisan, sementara kata yuzakkii (mensucikan) berkaitan dengan hati, dan kata yu'allimu (mengajar) berkaitan dengan pikiran dan akal. Jika dibawa ke ranah pendidikan modern, maka konsepsi Al Quran ini sejatinya berbanding lurus dengan apa yang oleh pakar pendidikan disebut aspek psikomotorik, afektif dan kognitif.


     

  2. Tugas dan Tanggung Jawab Guru

    Ramayulis (2006 : 63) menegaskan, bahwa keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas seorang rasul, yaitu :

    1. Tugas secara umum

      Tugas guru secara umum adalah sebagai warasatul anbiya, yang pada hakekatnya mengemban misi rahmatan lil 'alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.

      Selain itu tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan manusia untuk ber-taqarrub kepada Allah. Sejalan dengan ini Ramayulis mengutip Abdurrahman An Nahlawi (1983 : 41) yang menyebutkan tugas pendidik :

      1. Fungsi penyucian, yakni berfungsi sebagai pembersih, pemelihara dan pengembang fitrah manusia.
      2. Fungsi pengajaran, yakni menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan serta nilai-nilai agama kepada manusia.
    2. Tugas secara khusus

      Tugas guru secara khusus meliputi :

      1. Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan.
      2. Sebagai pendidik (educator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
      3. Sebagai pemimpin (manager), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat terkait, menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan.

    Adapun tanggung jawab pendidik, Ramayulis (2006 : 63) mengutip pendapat Abdurrahman An Nahlawi yang mengatakan bahwa tanggung jawab pendidik adalah mendidik individu supaya beriman dan bertakwa kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik diri supaya beramal saleh, mendidik masyarakat untuk saling menasehati dalam melaksanakan kebenaran, saling menasehati agar tabah dalam menghadapi kesusahan dalam beribadah kepada
    Allah serta menegakkan kebenaran. Dengan demikian tanggung jawab seorang pendidik meliputi kehidupan dunia dan akhirat dalam arti yang luas sebagaimana uraian di atas.

    Roestiyah N.K. (1989) yang dikutip oleh Sagala (2009 : 12) menginventarisir tugas guru secara garis besar :

    1. Mewariskan kebudayaan dalam bentuk kecakapan, kepandaian dan pengalaman empirik kepada para muridnya;
    2. Membentuk kepribadian anak didik sesuai dengan dasar negara;
    3. Mengantarkan anak didik menjadi warga negara yang baik, memfungsikan diri sebagai media dan perantara pembelajaran bagi anak;
    4. Mengarahkan dan membimbing anak sehingga memiliki kedewasaan dalam berbicara, bertindak dan bersikap;
    5. Memfungsikan diri sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat;
    6. Harus mampu mengawal dan menegakkan disiplin baik untuk dirinya maupun muridnya;
    7. Memfungsikan diri sebagai administrator sekaligus manager yang disenangi;
    8. Melakukan tugas dengan sempurna menurut amanat profesi;
    9. Guru diberi tanggung jawab paling besar dalam hal perencanaan dan pelaksanaan kurikulum serta evaluasi keberhasilannya;
    10. Membimbing anak untuk belajar memahami dan menyelesaikan masalah yang dihadapi muridnya;
    11. Guru harus dapat merangsang anak didik untuk memiliki semangat yang tinggi dan gairah yang kuat dalam belajar.

    Menurut Sagala (2009 : 13) tugas dan tanggung jawab guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, melainkan lebih dari itu, guru juga berkewajiban membentuk watak dan jiwa anak didik yang sebenarnya sangat memerlukan masukan positif dalam bentuk ajaran agama, ideologi dan lain-lain. Memberikan bimbingan sehingga anak didik memiliki jiwa dan watak yang baik, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, adalah termasuk tugas guru.

    Wens Tanlain, dkk (1989) yang dikutip Sagala (2009 : 13) menyebutkan ada beberapa poin yang menjadi tanggung jawab seorang guru, antara lain ; mematuhi norma dan nilai kemanusiaan, menerima tugas mendidik bukan sebagai beban, tetapi dengan gembira dan sepenuh hati, menyadari benar akan apa yang dikerjakan dan akibat dari setiap perbuatannya itu, belajar dan mengajar memberikan penghargaan kepada orang lain termasuk kepada anak didik, bersikap arif dan bijaksana dan cermat serta hati-hati, dan sebagai orang beragama melakukan semua yang tersebut di atas berdasarkan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Peran guru yang ditampilkan demikian ini, akan membentuk karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, terutama untuk kehidupan yang akan datang. Inilah yang dimaksud manusia seutuhnya yaitu berpengetahuan, berakhlak dan berkepribadian. Pendek kata guru bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku dan amalannya dalam rangka membina dan membimbing anak didik.


     

  3. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu

    Untuk mengetahui lebih jauh tentang sejarah munculnya dikotomi ilmu, berikut petikan dari tulisan Mustamir Anwar (2010) :

    1. Sejarah Munculnya Dikotomi Ilmu di Barat

      Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance di Barat. Dalam perkembangannya, memiliki sejarah yang panjang dan mengenaskan. Pada mulanya kondisi sosio-relegius maupun sosio-intelektual, dikuasai oleh gereja. Kebijakan-kebijakannya mendominasi dalam berbagai aspek kehidupan. Ajaran-ajaran Kristen dilembagakan dan menjadi penentu kebenaran ilmiah, bahkan semua penemuan hasil dari penelitian ilmiah dianggap sah dan benar jika sejalan dengan doktrin-doktrin gereja. Akhirnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut, harus dibatalkan demi supremasi gereja. Sedangkan jika para ilmuwan pada saat itu tidak mau mengikuti aturan semacam itu, maka pihak gereja akan menanganinya dengan cara kekerasan. Dalam kenyataannya, ternyata banyak para ilmuwan yang menentang peraturan tersebut dan tetap berpegang teguh terhadap penemuan ilmiahnya, akhirnya mereka menjadi korban kekejaman gereja. Akibat dari tekanan tersebut, para ilmuwan melawan kebijakan gereja itu. Mereka mengadakan koalisi dengan raja untuk menumbangkan dominasi kekuasaan gereja. Pada akhirnya koalisi tersebut berhasil, maka tumbanglah kekuasaan gereja. Dengan tumbangnya dominasi gereja, maka dengan sendirinya muncullah renaissance. Selanjutnya, masa renaissance ini melahirkan sekularisasi. Kemudian dalam sekularisasi ini melahirkan dikotomi ilmu.

      Ajaran-ajaran agama (dalam hal ini Kristen yang dilembagakan oleh gereja) secara konseptual dan aplikatif dipandang sebagai hambatan yang serius bagi kreativitas ilmuwan dan tentu juga bagi kemajuan peradaban. Lahirnya sekularisasi yang kemudian menimbulkan dikotomi adalah dalam rangka membebaskan ilmuwan untuk berkreasi melalui penelitian, penggalian, maupun percobaan ilmiah tanpa dibayang-bayangi ancaman gereja. Dalam hal ini kalau dikaitkan dengan dialektikanya Hegel, maka gereja dianggap sebagai tesis, sedangkan sekulerisasi dianggap sebagai antitesis. Karena sekularisasi sejak dari mulanya lahir senantiasa mengambil posisi yang berlawanan dengan pihak gereja. Selanjutnya sekularisasi yang berimplikasi adanya dikotomi itu memasuki wilayah ilmu pengetahuan modern.

      Dalam perkembangan selanjutnya, Mujamil Qomar (2005) dalam bukunya Epistemologi Pendidikan Islam mengutip dari Ismail Raji Al-Faruqi bahwa Barat memisahkan kemanusiaan (humanitas) dari ilmu-ilmu sosial, karena pertimbangan-pertimbangan metodologi, Memang secara metodologis, menurut tradisi Barat bahwa standarisasi ilmiah, ilmu apa pun termasuk ilmu sosial adalah adanya obyektivitas. Tidak boleh terpengaruh oleh tradisi, ideologi, agama, maupun golongan, karena ilmu harus steril dari pengaruh faktor-faktor tersebut. Sedangkan faktor kemanusiaan, lebih sering menekankan pendekatan rasa manusiawi dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga lebih mengesampingkan obyektivitas. Pada akhirnya pertimbangan kemanusiaan cenderung menggunakan moral dalam mengukur suatu kebenaran, sehingga menganaktirikan obyektivitas. Ini dapat dibuktikan dengan memihaknya ilmu-ilmu sosial pada obyektivitas, dan kemanusiaan terhadap moral, ketika terjadi benturan antara keduanya. Dalam hal ini agaknya memang susah untuk dikompromikan.

      Mujamil Qomar (2005) menambahi dengan mengutip dari Ziauddin Sardar, bahwa selain dikotomi dengan pertimbangan moral (subjektif) dan objektif, juga antara nilai dan fakta, realitas objektif dan nilai-nilai subyektif, antara pengamat dan dunia luar. Sedangkan antara keduanya terpisah dan pada posisinya masing-masing.

    2. Masuknya Dikotomi dalam Islam

      Pada lima abad pertama Islam (abad ke-7 sampai 11 M.), para ilmuwan muslim tidak mengenal pendikotomian ilmu. Karena pada saat itu, ilmu pengetahuan berpusat pada individu-individu, bukan pada sekolah-sekolah. Kandungan pemikiran Islam juga bercirikan usaha-usaha individual. Ciri utama dari ilmu pengetahuan tersebut adalah pentingnya individu guru. Sang guru, setelah memberikan pelajaran seluruhnya, secara pribadi memberikan suatu sertifikat (ijazah) kepada muridnya yang dengan demikian diizinkan untuk mengajar. Ijazah tersebut kadang-kadang diberikan hanya untuk suatu pelajaran tertentu saja, suatu kitab tertentu saja, bahkan berlaku untuk beberapa mata pelajaran.

      Pada perkembangan selajutnya, yaitu pada akhir abad ke-11, menjelang abad ke-12 M., dikotomi ilmu mulai menjangkiti Islam, pemisahan antara ilmu agama dan umum mulai digencarkan, yang pada saat itu, beberapa proses dan penyebab pendikotomian ilmu telah ditemukan.

      Madrasah, yang secara luas didasarkan pada sponsor dan kontrol Negara, umumnya telah dipandang sebagai sebab kemunduran dan kemacetan ilmu pengetahuan dan kesarjanaan Islam. Tetapi madrasah dengan kurikulumnya yang terbatas, hanyalah gejala, bukan sebab sebenarnya dari kemunduran tersebut, walaupun tentu saja, ia mempercepat dan melestarikan kemacetan tersebut. Karena memang kurikulum pada saat itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu agama saja, sehingga ilmu-ilmu nonagama tidak diajarkan. Sehingga Umat Islam mengalami kemunduran dalam bidang pengetahuan dan peradaban, karena ilmu-ilmu agama cenderung mengajarkan hubungan vertikal saja. Misalnya pada madrasah Nizamiyyah, bahwa apa yang diajarkan di dalamnya masih terbuka untuk didiskusikan. Yang perlu dicatat adalah pada masa itu ada dikotomi antara ilmu agama dan nonagama. Kemenangan sunni pada masa ini, tidak diikuti dengan apresiasi semangat pencarian ilmu secara umum. Hal ini berarti bahwa ilmu-ilmu nonagama mutlak tidak diajarkan di sana.

      Susunan dalam ilmu-ilmu keagamaan ini dibuat sedemikian rupa hingga membuatnya tampak
      ; semua ilmu pengetahuan yang lain adalah tambahan-tambahan yang tak perlu. Hal ini dapat dibuktikan mengutip dari perkataan as-Syathibi, bahwa mencari ilmu apapun juga yang tidak langsung berhubungan dengan amal adalah terlarang. Ini merupakan ciri khas ulama zaman pertengahan. Kalau melihat latar belakang dari as-Syathibi (seorang fuqaha'), pernyataannya memberikan kedudukan yang mutlak terhadap ilmu fikih, karena memang ilmu fikih merupakan disiplin ilmu yang kental dengan amal.

      Pendikotomian ilmu juga merupakan salah satu dari term al-Ghazali, ia berpendapat bahwa pada dasarnya ilmu dibagi jadi dua, yaitu; ilmu syari'ah dan non-syari'ah. Ilmu syari'ah wajib mutlak didalami oleh setiap muslim, sedangkan non-syari'ah sendiri dibagi lagi menjadi tiga, yaitu; ulumul mahmudah (ilmu-ilmu terpuji), ulumul mubahah (yang diperbolehkan), dan ulumul madzmumah (yang tercela). Dalam hal ini ilmu kedokteran, hitung, dan teknologi termasuk ilmu-ilmu non-syari'ah yang terpuji, sehingga fardu kifayah bagi setiap muslim untuk menguasainya. Adapaun termasuk ilmu yang diperbolehkan misalnya; ilmu pasti, logika, teologi, politik, etika, dan ilmu alam. Sedangkan ilmu nujum, sihir, dan astrologi termasuk ilmu-ilmu yang tercela.

      Dalam konteks Indonesia, dikotomi ilmu dimulai semenjak Indonesia mengenal sistem pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada di bawah Departemen Agama (Departemen Pendidikan Agama), sementara ilmu-ilmu umum (sekuler) berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Berdasarkan pembagian tersebut maka muncul istilah guru agama dan guru bidang studi umum.

  4. Hubungan Guru Agama dengan Guru Bidang Studi Umum

    Pada dasarnya guru agama dan guru bidang studi umum memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Jika kita memperhatikan pendapat Sagala (2009 : 13) yang menyatakan bahwa tugas dan tanggung jawab guru bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik, melainkan lebih dari itu, guru juga berkewajiban membentuk watak dan jiwa anak didik yang sebenarnya sangat memerlukan masukan positif dalam bentuk ajaran agama, ideologi dan lain-lain, memberikan bimbingan sehingga anak didik memiliki jiwa dan watak yang baik, mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara tugas dan tanggung jawab guru agama dan guru bidang studi umum.

    Kesamaan tugas dan tanggung jawab ini, hendaknya bisa mendorong guru agama dan guru bidang studi umum untuk membangun hubungan simbiosis mutualistis, yakni hubungan yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain, sehingga kedua bidang studi ini menuju kepada arah yang sama, yaitu tujuan pendidikan.

    Menurut hemat penyusun, hubungan saling mendukung antara guru agama dengan guru bidang studi umum dapat diwujudkan melalui hal-hal berikut ini :

    1. Membangun kesadaran bahwa tugas dan tanggung jawab guru agama dan guru bidang studi umum adalah sama yakni membentuk karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, terutama untuk kehidupan yang akan datang, sebagaimana pendapat Sagala (2009 : 13).
    2. Menghilangkan persepsi dikotomi ilmu yang selama ini berlaku, dan mulai mengembangkan pemahaman bahwa seluruh disiplin ilmu merupakan satu kesatuan dari sumber yang satu yakni, Allah SWT. Dengan demikian guru agama tidak akan tabu untuk menyampaikan ilmu umum sebagai ilustrasi dalam penjelasan bidang studi agama, dan guru bidang studi umum tidak perlu ragu untuk menyelipkan nilai-nilai agama dalam penjelasannya mengenai ilmu umum. Sehingga persepsi dikotomi ilmu sedikit demi sedikit akan terhapus.
    3. Mendorong guru untuk memiliki wawasan luas dalam berbagai disiplin ilmu tanpa ada sekat agama dan umum, sehingga akan muncul ahli agama yang scientist, dan scientist yang paham agama, seperti ilmuwan-ilmuwan Islam pada masa keemasan Islam.

    Ketiga hal di atas akan memperkecil sekat pembatas antara agama dan umum, sehingga akan mendorong terbangunnya komunikasi dan terbina hubungan yang baik di antara guru-guru.


     

BAB III

KESIMPULAN


 

Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

  1. Guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan seluruh potensinya, baik potensi kognitif, potensi afektif maupun potensi psikomotorik.
  2. Tugas dan tanggung jawab guru meliputi banyak hal, diantaranya membentuk karakteristik anak didik atau lulusan yang beriman, berakhlak mulia, cakap mandiri, berguna bagi agama, nusa dan bangsa, terutama untuk kehidupan yang akan datang.
  3. Dikotomi ilmu di Barat diperkirakan terjadi sebelum renaissance, ketika gereja memiliki dominasi kuat atas berbagai aspek kehidupan termasuk kebenaran ilmiah, sehingga mendorong ilmuwan untuk lepas dari dominasi tersebut yang menyebabkan adanya dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan.

    Dikotomi ilmu dalam Islam diperkirakan terjadi setelah munculnya madrasah-madrasah yang khusus mempelajari ilmu agama Islam. Sementara dikotomi ilmu di Indonesia terjadi setelah Indonesia mengenal sistem pendidikan modern.

  4. Guru agama dan guru bidang studi umum pada dasarnya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama, dengan demikian diharapkan dapat terbangun hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya. Hubungan tersebut bisa terjalin diantaranya melalui penghilangan persepsi dikotomi ilmu yang selama ini berlaku serta mendorong guru untuk memiliki wawasan luas dalam berbagai disiplin ilmu tanpa ada sekat agama dan umum.

DAFTAR PUSTAKA


 

Hadari Nawawi, 1989. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta : Haji Masagung.

Mustamir Anwar, 2010. Sejarah Dikotomi Ilmu Dan Penolakan Islam Terhadapnya, http://mustamiranwar86.wordpress.com/2010/04/23/sejarah-dikotomi-ilmu/

Ramayulis, Prof. Dr. H., 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia Cetakan V.

Rahman, Fazlur, 2003. Islam. Bandung: Pustaka. Cetakan V.

Sagala, Syaiful, Dr. H. M.Pd, 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung : Alfabeta Cetakan II.

Tolkhah, Imam, Dr., 2008. Profil Ideal Guru Pendidikan Agama Islam. Bandung : Titian Pena Cetakan I.

Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More